Upsidedown is a WordPress theme design that brings blog posts rising above inverted header and footer components.

Quo Vadis Sertifikasi Pustakawan dan Foucoult

Written in

by


Akhirnya saya ketemu dengan teman saya, sebut namanya Hapsari sekarang bekerja di perpustakaan institusi swasta. Membayangkan fisik Hapsari, dia mirip Megawati pemail volly berhibab di Redspark. Hapsari banyak menunduk, ketika dia mulai berceritera sambil pesen Cofee Avocado di Starbuck.

Rekan sejawat Hapsari menyebutnya sebagai Sang Pustakawan. Meskipun kita sering bercakap, apakah benar Hapsari seorang Pustakawan yang sejatinya? Dalam perspektif siapa dan apa kemudian yang membenarkan atau menyalahkan klaim dirinya sebagai Pustakawan.


Kisahnya dimulai ketika Hapsari diwisuda dari sebuah kampus. Ya, dia menyelesaikan kuliah di sekolah Sarjana Ilmu Perpustakaan selama 5 tahun. Kuliah dengan biaya mahal di Universitas Besar yang ada restauran Mak Engkingnya di sebelah kanan. Dia bilang berdarah darah: belajar tentang teori bibliografi dan metadata. Dia juga ujar: mimisan mempelajari katalogisasi, klasifikasi, teori literasi, serta tugas dosen ngoprek database.
Gak mau disebut mahasiswa KUPU KUPU (kuliah pulang kuliah pulang, maksudnya flat gak berorganisasi), dia ikutan beberapa workshop.


Hapsari mengupgrade skillnya diluar kampus. Dia ngoprek sambil koprol menguasai SLIM, software lokal perpustakaan. Kemampuan mengoperasikan SLIM di dunia kepustakawanan saat ini, dibaratkan makan menu Bakso tanpa mie bihun. Slim itu “bihunnya” yang merepresentasi kemampuan skill tambahan di bidang tersebut. Trus lanjut, untuk menambah skill doski kursus bahasa Inggris dan Korea, bukan sekedar agar bisa berkomikasi dengan Hyun Bin …tapi doski pingin mengjangkau karirnya lebih luas. Tak cukup itu, doski juga workshop RDA, ikut seminar2 bibliometrik, postviewer dll.


Hapsari menyelesaikan 148 SKS dengan core skill dan sofklill jurusan ilmu perpustakaan. Hapsari kemudian memperoleh Ijazah dengan gelar Hapsari S.IP.

Pertanyaannya, apakah Hapsari tetap butuh sertifikat yang didapat dengan ujian selama 4 jam?

Dan setelah 5 tahun bekerja di perpustakaan, ujug ujug doski curhat. ya, angin puting beliung apa yang tiba tiba menuntun Hapsari menumpahkan isi hatinya ke saya:


“Yog, aku sudah 7 tahun bekerja sebagai pustakawan (?) di sektor privat. Aku sudah gape mengelola perpustakaan bahkan sudah katam. Apakah aku perlu ikut sertifikasi pustakawan?”
Saya mengalihkan perhatian untuk menikmati Chicken Cordon Blue..males ah ngomongin yang serius serius.


“Hapsari, kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah kamu sedang mencari eksistensi dari selembar kertas pengakuan kompetensi yang dilaminating itu? apakah di tempat kerjamu membutuhkan “pengakuan” itu? Jika ya, apa boleh buat?”


Dunia berubah. Cara kita beraktifitas juga berubah dengan cepat. Apakah cara, rule dan role mengelola perpustakaan ajeg? Apakah aktifitas yang mungkin di eranya sangat digdaya, masih bertuah di era sekarang. Apakah skill dan kompetensi serta seragam kebesaran atribut kepustakawanan ajeg disa universal diterapkan, atau di cangkok mentah mentah karena dianggap statis?


Apakah profesi Pustakawan profesi sakral Hapsari? Gak boleh berbeda ntar dikutuk jadi kodok…saya sisipkan joke biar dia tersenyum.


Sertifikasi Pustakawan mungkin dipakai di Goverment, karena mungkin seragam mereka cocok dan sesuai dengan sertifikasi tersebut. Atau bisa jadi karena ada semacam mandatory atau insentif, misal naik ke jenjang pustakawan yang lebih tinggi.

Banyak jenis perpustakaan. Dan Perpustakaan pun berubah peran dan fungsinya. Kenapa Lembaga sertifikasi dan juga sertifikasi perpustakaan tidak berubah? Ajeg dengan kompetensi lama?

Michel Foucoult dan Sertifikasi Profesi

Saya dan hapsari tersenyum bareng. Sayapun menyebut Michel Foucoult. pemikir Post structural yang mengkritisi Sertifikasi Profesi. Pemikiran Foucault memberikan kritik terhadap sertifikasi profesi memungkinkan kita untuk mempertanyakan dan memahami lebih dalam tentang aspek-aspek kekuasaan, kontrol, dan pembentukan pengetahuan yang terlibat dalam proses sertifikasi. Hal ini dapat membuka ruang untuk diskusi yang lebih kritis dan pemikiran alternatif tentang bagaimana mengakui dan menilai keahlian dan kompetensi individu dalam konteks profesional.

Dalam pandangan Michel Foucault, sertifikasi profesi merupakan salah satu bentuk kontrol sosial yang dilakukan oleh institusi kekuasaan untuk mengendalikan dan membatasi praktik-praktik profesional. Sertifikasi profesi dianggap memiliki potensi untuk menciptakan monopoli pengetahuan dan kekuasaan, yang pada akhirnya dapat merugikan individu yang tidak memenuhi standar sertifikasi resmi.

Foucault berpendapat bahwa kekuasaan bukan hanya ada pada institusi formal seperti pemerintah, tetapi juga terdapat dalam seluruh relasi sosial. Dalam konteks sertifikasi profesi, kekuasaan termanifestasi dalam proses pemberian izin atau pengakuan resmi terhadap individu yang memenuhi standar tertentu untuk menjalankan suatu profesi. Dalam proses ini, standar-standar sertifikasi ditetapkan oleh pemerintah atau institusi kekuasaan, sehingga mereka memiliki wewenang untuk menentukan siapa yang memiliki otoritas untuk menjalankan suatu profesi.

Konsep sertifikasi profesi dalam perspektif Foucault juga menimbulkan kritik terhadap pengaruh kekuasaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu kritiknya adalah bahwa sertifikasi cenderung menciptakan monopoli pengetahuan dan kekuasaan di tangan pemerintah atau institusi yang menentukan standar. Hal ini dapat mengakibatkan pembatasan akses terhadap profesi tertentu, serta mengabaikan keberagaman pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh individu-individu di luar jalur sertifikasi resmi.

Selain itu, sertifikasi profesi juga dapat memengaruhi praktik-praktik profesional dan pembentukan pengetahuan di dalam masyarakat. Dalam proses sertifikasi, individu harus memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau institusi kekuasaan. Dalam proses ini, pengetahuan profesional dikonstruksi dan disusun dalam bentuk norma dan praktik yang ditentukan oleh institusi sertifikasi. Hal ini tentunya membatasi inovasi dan kreativitas dalam praktik-profesional, serta mengabaikan keberagaman pengetahuan yang dimiliki oleh praktisi-praktisi di luar jalur sertifikasi resmi.

Kritik terhadap sertifikasi profesi dalam perspektif Foucault menunjukkan bahwa sertifikasi bukanlah satu-satunya cara untuk menjamin kualitas dan keandalan praktik-profesional. Sebagai alternatif, masyarakat dapat mempertimbangkan pengakuan atas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh individu tanpa harus melewati jalur sertifikasi resmi. Pengakuan ini dapat dilakukan melalui berbagai bentuk seperti sertifikasi alternatif, penghargaan, atau pengakuan oleh praktisi lainnya.
Bukan begitu Hapsari cantiiiiik

Yogi Hartono – P3RI

Tags

tulis komentar anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.