Tiba tiba telepon berdering. Dalam bahasa Inggris ada yang menanyakan apakah punya materi original persidangan Jessica?

———————

Kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wongso melalui kopi bersianida sempat menggemparkan Indonesia beberapa tahun lalu. Kisah ini kemudian ditayangkan dalam dokumenter di layanan streaming Netflix. Film yang disutradarai oleh Rob Sixsmith ini merangkum seluruh peristiwa dan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan Jessica Kumala Wongso.


Cerita dari berbagai sudut pandang ini akan membantu penonton memahami kasus yang sangat kompleks tersebut. Penonton akan menilai langsung berdasarkan informasi yang diberikan oleh beberapa narasumber. Seperti Jessica sebagai pelaku dalam kasus ini masih menyebut dirinya tidak bersalah. Sementara ayah Mirna, Darmawan Salihin sangat yakin bahwa Jessica Wongso adalah pembunuhnya, bahkan ia menyebut Jessica dengan sebutan “setan”.


Film berdurasi 1 jam 20 menit ini menggambarkan dua sisi yang berlawanan. Yakni pihak yang meyakini Jesicca adalah si “pembunuh” serta pihak yang percaya bahwa Jessica bukanlah pembunuh Mirna.

Pentingnya Perpustakaan
Tulisan ini tidak membahas sisi perdebatan konten materi persidangannya. Kita akan bahas the otherside atau behind the scene filem tersebut. Terutama ketika sebuah rumah produksi yang berbasis di Singapura, melakukan riset data dan akuisisi konten material tersebut, untuk kemudian ditayangkan di Channel Netflix, saluran filem berbasis streaming terbesar di Dunia.
Sidang Jessica disiarkan secara langsung atau live oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia secara maraton dari bulan Agustus sampai November 2016. Sepertinya baru di saat itu, diskursus persidangan, perdebatan antara jaksa, dan pengacara yang menghadirkan saksi saksi serta putusan hakim menjadi pembelajaran positif pertarungan argumentatif yang disiarkan keruang publik secara terbuka. Sidang berlangsung transparan tidak tertutup.


Nah rumah produksi Beach House mengakuisi banyak konten persidangan secara visual yang tersimpan rapi perpustakaan dan arsip stasiun TV Indonesia. Konten koleksi di “perpustakaan” yang dibeli hak siarnya mengukuti gambaran besar narasi sebagai berikut:


Wayan Mirna Salihin, 27 tahun, meninggal dunia setelah meminum es kopi Vietnam di Olivier Cafe, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Saat kejadian, Mirna diketahui sedang berkumpul bersama kedua temannya, Hanie dan Jessica Kumala Wongso. Menurut pihak kepolisian, ditemukan pendarahan pada lambung Mirna disebabkan adanya zat yang bersifat korosif masuk dan merusak mukosa lambung. Belakangan diketahui, zat korosif tersebut berasal dari asam sianida. Sianida juga ditemukan oleh Puslabfor Polri di sampel kopi yang diminum oleh Mirna. Berdasarkan hasil olah TKP dan pemeriksaan saksi, polisi menetapkan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka. Jessica dijerat dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.


Nilai pembeliannya cukup fantasis untuk ukuran konten dengan durasi pendek. Monetisasinya lumayan besar, Netflix berani mengakuisisi untuk sebuah kreatifitas bisnia. Dokumentasi Jessica hanya salah satu contoh. Beberapa stasiun tv luar negeri seperti NHK, Reuters atau Lembaga formal lokal juga lainnya, biasa melakukan akuisisi konten untuk keperluan bisnis dan organisasinya. Dengan kata lain, di sudut “perpustakaan” banyak value yang dihadirkan. Disitulah pentingnya pengetahuan tentang Hak Cipta atau Rights.


Kenapa Netflix membeli langsung dari “perpustakaan dan arsip” TV ? Karena mereka institusi kredibel yang profesional dan menghargai rights. Mereka tidak mau melanggar aturan dengan mengambil konten yang tersedia gratis di Youtube. Bisa kena pinalti. Argumen lain, beberapa institusi mengupload materi di Youtune adalah versi low res nya yang disertai watermark. Tidak memenuhi standar broadcaster.


Dari kasus behind the scene film dokumenter Ice Could Jessica, menyisakan banyak pertanyaan tentang bidang perpustakaan dan arsip yang berubah. Dunia berubah, pemaknaan kita terdapat solusi kerja organisasi (baca bisnis organisasi) juga tidaklah statis. Campur tangan dan intervensi teknologi terhadap beberapa bidang kegiatan menjadikan sebuah fungsi tidaklah sakral dan suci. Terjadi perubahan role perpustakaan. Untuk dapat bertahan hidup bebarapa fungsi kemudian beradaptasi menyesuaikan jaman. Pingin tau buktinya? ISO arsip 14589:2016 mendefinisikan bahwa arsip selain berfungsi sebagai dokumen kesejarahan juga sebagai aset. Padahal di ISO sebelumnya yang diterbitkan tahun 2001 tidak ada frasa aset. Saya mengintrepetasikan penambahan frasa aset sebagai adaptasi terhadap teknologi dan kemajuan jaman.


Perpustakaan dan Kearsipan pun tak lepas dari adaptasi ini. Perpustakaan dan Arsip tidak lagi berkutat dengan pengelolaan dokumen fisikal, tapi juga digital. Yang lebih penting, terlibat juga dalam pengelolaan aset. Ada fungsi tambahan sebagai added value selain fungsi pendidikan, informatif, administratif, pengetahuan. Apa itu ? Fungsi ekonomis atau terkait monetizasi konten. Tentu tidak semua perpustakaan dan unit kearsipan menggukan value tersebut. Tapi paling nggak, dengan penambahan value tersebuk eksisitensi bidang ini di sektor bisnis menjadi dihargai karena keberadaannya penting.


Trend perubahan tersebut dirasakan kehadirannya jika perpustakaan dan kearsipan itu hadir di ekosistem bisnis, khususnya lembaga profit. Kehadiran unit perpustakaan atau kearsipan tentu sudah beradaptasi dengan lingkungan profitabilitas institusinya. Tanpa adaptasi dan penyesuaian bisa mati alias dibubarkan. Eksistensi mereka disulap menjadi bagian sang sangat vital dalam ekosistem bisnis untuk mendukung proses bisnis.

“Perpustakaan atau Kearsipan disetarakan dengan Bidang IT tentu dengan Gimnik Redaksional yang berbeda karena disertai intervensi teknologi, meskipun secara subtansinya sama.”

Tentu saja saya tidak menggenerealisasi kondisi tersebut. Saya hanya menyoroti dari spektrum eksistensi “perpustakaan dan kearsipan” di sektor bisnis, terinpirasi pikiran Jacquest Lacan.


“Perpustakaan” yang Lacanian
Jacques Lacan (13 April 1901 – 9 September 1981) adalah psikoanalis Prancis terkenal yang sezaman dengan Roland Barthes, Michel Foucault, dan Derrida. Ia mengembangkan psikoanalisis Sigmund Freud berbasis semiologi.Fokus utama studinya adalah ketidaksadaran, yang sebelumnya diperkenalkan Freud.


Dalam konsep Lacanian, kesalah-mengertian ( meconnaissance ) berbeda dengan ketidaktahuan ( ketidaktahuan ). Dibalik kesalah-mengertinya, subjek tau pengetahuan macam apa yang disalah-mengerti.
Sebagai masyarakat modern, kita tentu saja melihat fenomena itu sebagai hal yang menggelikan. Namun pada saat itulah kita menyadari kehilangan familiaritas objek akibat makna kita sendiri dan menjadikan objek tersebut tak familiar bagi diri kita. Semuanya terjadi tiba-tiba seolah-olah akan ada objek yang mengejutkan dan meninggalkan Anda dengan mendisorientasi makna kebingungan dan ketidaknyamanan. Itulah yang dinamakan Keganjilan ( Luar Biasa ).


Sejatinya memang tidak ada pemaknaan tunggal dari sebuah objek. Objek-dalam-dirinya-sendiri memang selalu dimaknai oleh orang yang mengetahui objek. Pengetahuan yang dipahami tentang objek ironisnya merupakan sebuah kesalah-mengertian. Kesalahan-mengertian dari objek ini memang akan selalu terjadi setiap kita mengenali apapun termasuk diri kita sendiri. Dalam konsep Lacanian, kesalah-mengertian ( meconnaissance ) berbeda dengan ketidaktahuan ( ketidaktahuan ). Dibalik kesalah-mengertinya, subjek tau pengetahuan macam apa yang disalah-mengerti.


Contoh sederhana pikiran Lacan adalah peristiwa Kalahnya Jerman di Piala Dunia oleh tim gurem dari asia Korea Selatan di tahun 2018. Kita mahfum Jerman sebagai juara dunia 4 kali diidentikkan dengan sepakbola. Sepakbola itu Jerman jagonya. Selain Brazil yang tak terkalahkan saat itu, orang orang terhipnotis bahwa Jerman mustahil kalah lawan Korea. Takdir akhirnya mencabut nyawa Jerman lewat gol Song Heung Min pemain Totemham Hotspur yang memuluhlantakkan Jerman. Apakah definisi tentang sepakbola masih melekat di pendukung setia timbas Jerman. Itu yang diteliti Lacan.


Begitulah Perpustakaan sebagai sebuah objek Lacanian tidak hanya dipandang sebagai tempat itu sendiri ( das-ding-an-sich ). “Perpustakaan” mendapatkan maknanya sebagai tempat menyimpan-pinjamkan buku. Pengertian apapun terhadap fungsi baru sebuah perpustakaan hanya membuat perpustakaan kemudian semakin disalah-mengerti.
Stereotip justru menyandera subjek untuk berekspresi tentang Perpustakaan. Makna pustakawan menjadi statistik dan sempit. Sialnya stereotip ini kemudian dibungkus dengan hegemoni pendefinisian perpustakaan yang terbelah. Benarkah bidang ini ajeg ?

Dalam pandangan saya yang telah 20 tahunan lebih mengepalai “perpustakaan” sebuah institusi profit, makna perpustakaan mengalami perubahan. Sayangnya, jarang sekali profesional yang berani share tentang perubahan ini…hi hi hi

Yuk ah…ntar nunggu serial lain yang bisa jadi mengakuisisi dari koleksi perpustakaan teman2.

Yogi Hartono – Kepala Quality Assurance

Tags

Categories

tulis komentar anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Upsidedown is a WordPress theme design that brings blog posts rising above inverted header and footer components.