Upsidedown is a WordPress theme design that brings blog posts rising above inverted header and footer components.


c71da0b296764057780e4074b9d607a4_1

Bisa jadi artikel ini sangat memprovokasi para pustakawan. Tapi percayalah ini bukan fiksi. Istilah pustakawan atau perpustakaan sudah jarang digunakan, khususnya di perusahaan swasta. Mereka pada umumnya menggunakan istilah yang lebih kekinian sebagai profesional informasi, content entrepise manager, digital asset manager, kurator data dsb.

Ada  baiknya kita mendengarkan kisah seorang mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan ini. Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Indonesia, suatu saat Polan berharap bisa mendapatkan pekerjaan di industri media. Untuk itu dia magang selama enam bulan di sebuah surat kabar besar dan sangat terkenal. Perusahaan media dengan sebuah Departemen Arsip nya yang besar dan megah. Puluhan pustakawan bergabung untuk mengelola database kliping pers. Mereka menambahkan metadata dengan menggunakan tesaurus yang sangat canggih dan sistem kata kunci, dan melakukan penelitian untuk jurnalis dan pelanggan eksternal mereka sendiri.

Polan pun berpikir bahwa saat itu, dia telah melakukan job describsion kepustakawanan yang menakjubkan. Bayangkan, melakukan sebuah pekerjaan yang hebat dan heroik “mengatur informasi dunia”. Luarbiasa.

 

Fase Senjakala Pustakawan Media Cetak

Setelah lulus kuliah, Polan mulai mendapatkan realita yang tidak seperti bayangannya. Perjalanan karir sebagai pustakawanpun menjadi terjal dan berliku; the long and winding road; mirip lagunya The Beatles. Lowongan kerja di perpustakaan media menjadi kosong, seiring mulai beralihnya media informasi dan equipmennya dari teknologi analog; berubah ke teknologi digital. Sebuah keniscayaan yang mengenaskan mengingat tidak ada pekerjaan baru dalam arsip pers pada saat itu. Bahkan pada tahun 2002 an, beberapa koran khawatir penurunan pendapatan dan mulai mengurangi pekerjaan pustakawan media.

Tapi toh Polan tidak bisa menyumpah-serapahi sang waktu. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Demikian juga ketika teknologi digital mulai masuk menggantikan equipment analog, serta merubah fungsi kerjanya. The show must go on. Membendung kemajuan teknologi dan ngotot untuk tidak berubah, merupakan pekerjaan yang sia sia. Ibarat menjaring matahari dengan telapak tangan.

Saat itu adalah masa transisi orang menggunakan media cetak yang beralih ke media elektronik dan digital. Senjakala era cetak ikut mempengarui dipangkasnya profesi pustakawan media. Berbanding-lurus karena eksistensi pustakawan swasta; tergantung pada industri yang memayunginya. Pustakawanpun mulai di assesmen, siapa yang tidak qualified dan kompeten harus siap angkat koper. Siapa yang lambat dalam berubah, siap ketinggalan kereta. Semua harus meng upgrade skill dan keahliannya akan tersingkir.

Digitalisasi bukan sekedar mengganti pekerjaan manual; memakai equipment analog dengan banyak sumber daya manusia. Teknologi analog dianggap sebagai sumber pemborosan; fitur yang pada teknologi digital bisa multiple dari hulu ke hilir; pada teknologi manual harus terpisah kurang terintegrasi. Masing masing bekerja sendiri tanpa kesatuan.

Sistem digital; menawarkan pekerjaan dengan peningkatan kualitas, kecepatan dan lebih akurat. Dan para bos menduga; –aktifitas manual ini akan mengakibatkan bahwa tidak adanya nilai tambah bagi para pustakawannya. Ini berimbas kurang dihargainya profesi ini bagi usernya. Proses digitalisasi asset dianggap bisa menambah kualitas, kecepatan dan penghematan investasi secara besar besaran. Proses ini juga dianggap akan memperluas suport serta menguntungkan perusahaan. Dengan digitalisasi asset, pengeluaran perusahaan bisa ditekan , tanpa kehilangan banyak pengguna.

Isyu barupun muncul seiring tema efisiensi ROI DAM. Tak terkecuali perpustakaan pun diaudit apakah unit yang boros atau masih bisa ditingkatkan valuenya ?. Dan pada titik tertentu; kuantitas pustakawan pun terkena imbasnya. Pustakawan dilanda kegalauan.

Beberapa perusahaan pers merilis informasi: “Kami tidak akan mempekerjakan Pustakawan dalam waktu dekat”

Fase tahun 2000 an, departemen arsip pers terus menyusut dari tahun ke tahun. Pustakawan yang bekerja dalam lingkungan arsip pers – dan yang dulu merupakan pemangku kepentingan utama, – telah kehilangan pengaruhnya.

“Kita kebanyakan berbicara dengan manajemen, marketing, editor dan IT, ….Pustakawannya mana? Kebanyakan pustakawan tidak terlihat, dan hampir dipecat karena pemotongan anggaran”, tambah seorang pengusaha Media 

Senjakala “Pustakawan” begitu menghantui dimasa transisi ini. Pustakawan (media) pun mati muda dan siap digantikan si jabang bayi para pengelola arsip digital (Digital Archive Manajer). Jabang bayi hasil dari reinkarnasi Pustakawan.

 

DAM, Dari Pengelola Koleksi ke Pengelola Asset

archiving-workflow

Maka munculah spesies baru bernama DAM Atau Digital Asset Manager yang merupakan transformasi dari pustakawan jadul. Perubahan besar di arena pengguna yang cenderung beralih ke rezim medsos dan digital membuat para pustakawan media merubah strategi, dari fokus pengelolaan koleksi ke pengelolaan asset. Perubahan paradigma, jika dulu perpustakaan dihadirkan perusahaan hanya sebagai pelengkap katarsis karyawan yang ingin refresh meminjam buku atau mencari informasi, sekarang perusahaan melakukan hal ekstrim dengan megkroping fungsi ”kepustakawanan dan arsip”. Perusahaan  mencangkoknya ke dalam bisnis prosesnya. Fungsi kerja ‘kepustakawanan’ tadi kemudian dipaksa masuk ke dalam bidang baru, dengan ekosistem baru; umumnya menjadi bagian dari divisi information technology.

Bisa jadi saya sedang menggeneralisir. Tapi sebagai salah satu ketua asosiasi record manager dan sering berdiskusi dengan teman teman ”pustakawan” dari Price Waterhouse Cooper, Phillip Morris Indonesia, Worldbank Indonesia, Cevron  dll eksistensinya tipikal.

Pengelolaan asset beda dengan pengelolaan koleksi. Pada pengelolaan asset, pustakawan mengelola material berharga yang mempunyai value added menjadi modal kapital di korporat. Jadi berbeda dengan pegelolaan koleksi pada perpustakaan konvesional, ‘pustakawan’ DAM masuk ke jantung bisnis proses terlibat langsung meggerakkan opersional perusahaan.

Sebuah revolusi, eksistensi perpustakaan di perusahaan yang tadinya terpinggirkan, sekarang jadi koki penyaji masakan yang sangat penting. Pustakawan yang tadinya bergelut dengan buku, sekarang mengelola data. Perubahan ini menjadikan peran si “Pustakawan” menjadi diperhitungkan kembali sebagai manager data dan asset perusahaan. Untuk lebih memahami DAM/MAM terlampir adalah link DAM/MAM:

https://sisilainpustakawan.wordpress.com/2016/10/07/media-asset-management-dan-transformasi-librarian/

https://sisilainpustakawan.wordpress.com/2014/02/13/seperti-apa-pengelolaan-dokumen-rekod-di-industri-penyiaran/

Transformasi Pustakawan Menjadi Manager Asset

Google sebagai search engine; dalam taglinenya dengan pongah mengatakan:

“Membuat informasi dunia dapat diakses dan berguna secara universal”.

Nah dalam banyak kasus, Pustakawan kemudian meniru membuat rancangan search engine dan penyimpanan big data ala “gogle”. Mereka merancang sebuah sistem DAM (Digital Asset Management) untuk mengelola asset bisnis meraka. Tagline DAM tidak seperti Google. Mungkin Gogle bisa menawarkan menyediakan berjuta informasi. Tapi DAM bukan sekedar itu, dia menawarkan informasi yang dibutuhkan dan sesuai untuk user. DAM berusaha membantu memenuhi kehausan informasi asset user melalui mekanisme fitur pencarian data yang cepat; tepat dan akurat. Metadata yang kompleks yang diadopsi DAM akan menghasilkan hasil pencarian yang bagus dan sesuai; selama kita dapat merumuskan kueri kompleks nya.

Tapi permasalahnya, layanan tersebut tidak bisa langsung diakses seperti halnya proses pencarian informasi di Gogle. Semua orang ingin pelayanan langsung tanpa sekat termasuk di perusahaan. Mereka menafikkan fungsi ”pustakawannya” sebagai gate atau jembatan. Saat itulah mulai diperkuat fungsi “Pustakawan”, bukan sekedar “penyimpan dan penjaga koleksi” atau juga sebagai analis; assesment data informasi asset sebelum megarsipkannya.

Di era digital profesi Pustakawan kembali menjulang. Profesi Digital Asset manager sejajar dengan posisi spesialis lain di bidang Teknologi Informasi. Betapa pentingnya DAM untuk perusahaan; seorang pakar dari Amerika, Seth Godin berkata:

“Untuk Pustakawan dan Digital Asset Manager; era digital, inilah kesempatan seumur hidup,”

Alat digital baru – mesin telusur, lansiran otomatis, kategorisasi otomatis, visualisasi – dapat dipelajari dan kemudian digunakan oleh arsiparis dan pustakawan untuk memperbaiki layanan mereka dengan lebih baik. Pustakawan tidak lagi diam dibelakan rak buku. Mereka harus proaktif menguasai teknologi informasi. Mereka harus bisa membuat halaman topik, mengirimkan berkas digital, memiliki dan menggunakan intranet dan Wikis sebagai alat komunikasi. Pustkawan harus akrab dengan istilah baru Digital (tag geo, sharing sosial, pengelolaan hak, pengarsipan video). Pustakawan juga harus punya value tambahan di bidang IT; mampu melacak dan memvisualisasikan metrik. Mampu mengoptimalkan search engine dan metadata untuk self-service.

Di era kekinian; profesional informasi akan mulai  mendapatkan penghargaan yang pantas. Profesional Informasi menemukan eksistensinya kembali yang sempat meredup. Senjakala pustakawan media akhirnya berakhir. Sang Pustakawan atau para “pengelola asset” tidak lagi mementingkan redaksional nama profesinya. Mereka adalah pengelola asset atau Digital Asset Manager.

Ada saran menarik dari David Diamond untuk para pustakawan di Indonesia:
“Buat mereka mengerti apa yang Anda lakukan dan mengapa itu penting. Buat ketergantungan mereka pada kalian” kata Diamond berapi api.

Dan hampir semua media elektronik di Indonesia sekarang memakai teknologi DAM/MAM (Media Asset Management). Ada sekitar 100 orang di Indonesia yang berprofesi sebagai Digital Asset Manager. Si Pustakawan tidak lagi memengola koleksi (buku) tapi mengelola asset perusahaan.

Dibawah adalah contoh aktifitas Penelusuran Informasi oleh Journalis melalui Media Central. Di Media Central yang terdiri dari 300 an PC ini para Journalis melakukan riset dan penelusuran data pada server DAM atau MAM (Media Asset Manager) secara online.
cscnnindonesia800a

Tabik

 

Tags

One response to “Digital Asset Manager dan Matinya ”Pustakawan” di Perusahaan.”

  1. […] pernah saya tulis di blog saya: Gak Bisa Memaksakan Pake Baju Pustakawan (VersiMu) Mas Bro… /, Digital Asset Manager dan Matinya ”Pustakawan” di Perusahaan. Shifting Pustakawan Buku ke Pustakawan BigData ( Media Asset Manager )/,Pustakawan Data: Ngapain […]

tulis komentar anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.